7 Permasalahan Pendidikan di Indonesia - Detik Pendidikan

Permasalahan Pendidikan di Indonesia - Detik Pendidikan
Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses membiasakan seseorang atau sekelompok orang melalui pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan pembiasaan yang dibimbing oleh orang lain maupun secara  dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang agar menjadi orang yang cerdas, beriman, terampil, dan memiliki ahlak mulia.

Kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut UU Pendidikan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) definisi pendidikan dalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Tujuh Permasalahan Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI (di kutip dalam Republika.co.id, Jakarta)

Permasalahan Pendidikan di Indonesia - Detik PendidikanJaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan. Koordinator Nasional JPPI A. Ubaid Matraji mengatakan "Masih ada celah yang harus terus diperbaiki, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana dicita-citakan." Adapun tujuh permasalahan pendidikan di Indonesia menurut JPPI adalah sebagai berikut:


1. Program Wajib Belajar 12 Tahun

Nasib program wajib belajar 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015. Namun, sepanjang 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal itu. Ubaid beranggapan, seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen khususnya pasal terkait wajib belajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa juga didorong melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di provinsi.

2. Angka Putus Sekolah

Angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan. Menurutnya, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun. Namun, hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.

3. Pendidikan Agama di Sekolah

Pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember 2016), terdapat 78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah, setuju jika pemerintah berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam. Ubaid menilai hal itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal akan tumbuh subur di sekolah.

4. Lemahnya Pengakuan Negara Atas Pendidikan Pesantren dan Madrasah (diniyah)

Masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka, tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah tidaklah cukup memadahi. 

Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk Prolegnas 2017.

5. Pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP)

Pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus.  Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut. Khusus untuk kelompok difabel, mereka terkendala susahnya menemukan sekolah inklusi. Akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib, dan semakin menjadikannya tereksklusi dari realitas sosial.

6. Kekerasan dan Pungutan Liar di Sekolah

Kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah. 

Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi di jenjang sekolah menengah.

7. Ketidaksesuaian Antara Dunia Pendidikan Dengan Dunia Kerja

Ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai.

Ini menunjukkan bahwa ada celah antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini.

No comments for "7 Permasalahan Pendidikan di Indonesia - Detik Pendidikan"